BAB I
PENDAHULUAN
11.
Latar belakang
Filariasis
(penyakit kaki gajah) atau juga dikenal dengan elephantiasis adalah penyakit
menular dan menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang ditularkan
melalui gigitan berbagai spesies nyamuk. Di Indonesia, vektor penular
filariasis hingga saat ini telah diketahui ada 23 spesies nyamuk dari genus
Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes dan Armigeres. Filariasis dapat menimbulkan
cacat menetap berupa pembesaran kaki, tangan, dan organ kelamin.
Filariasis
merupakan jenis penyakit reemerging desease, yaitu penyakit yang dulunya sempat
ada, kemudian tidak ada dan sekarang muncul kembali. Filariasis pertama kali
ditemukan di Indonesia pada tahun 1877, setelah itu tidak muncul dan sekarang
muncul kembali. Filariasis tersebar luas hampir di seluruh Propinsi di
Indonesia. Berdasarkan laporan dari hasil survei pada tahun 2000 yang lalu
tercatat sebanyak 1553 desa di 647 Puskesmas tersebar di 231 Kabupaten 26
Propinsi sebagai lokasi yang endemis, dengan
jumlah kasus kronis 6233 orang. WHO sendiri telah menyatakan filariasis
sebagai urutan kedua penyebab cacat permanen di dunia. Di Indonesia sendiri,
telah melaksanakan eliminasi filariasis secara bertahap dimulai pada tahun 2002
di 5 Kabupaten percontohan.
Perluasan wilayah akan dilaksanakan setiap
tahunnya. Upaya pemberantasan filariasis tidak bisa dilakukan oleh pemerintah
semata. Masyarakat juga harus ikut memberantas penyakit ini secara aktif.
Dengan mengetahui mekanisme penyebaran filariasis dan upaya pencegahan, pengobatan
serta rehabilitasinya, diharapkan program Indonesia Sehat Tahun 2010 dapat
terwujud salah satunya adalah terbebas dari endemi filariasis.
22. Masalah
Dari latar
belakang di atas, dapat di tarik suatu rumusan masalah antara lain sebagai
berikut.
1.
Apa yang dimaksud dengan filariasis?
2.
Bagaimana mekanisme terjadinya filariasis?
3.
Bagaimana upaya pencegahan , pengobatan dan
rehabailitas filariasi?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Filariasis
Filariasis
(penyakit kaki gajah) atau juga dikenal dengan elephantiasis adalah suatu
infeksi sistemik yang disebabkan oleh cacing filaria yang hidup dalam saluran
limfe dan kelenjar limfe manusia yang ditularkan oleh nyamuk. Penyakit ini
bersifat menahun (kronis) dan bila tidak mendapatkan pengobatan akan menimbulkan
cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan, dan alat kelamin baik perempuan
maupun laki-laki.
Cacing filaria berasal dari kelas Secernentea, filum
Nematoda. Tiga spesies filaria yang menimbulkan infeksi pada manusia
adalah Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori (Elmer R.
Noble & Glenn A. Noble, 1989). Parasit filaria ditularkan melalui gigitan
berbagai spesies nyamuk, memiliki stadium larva, dan siklus hidup yang kompleks.
Hospes cacing filaria ini dapat berupa hewan dan atau
manusia. Manusia yang mengandung parasit dapat menjadi sumber infeksi bagi
orang lain. Pada umumnya laki-laki lebih dmudah terinfeksi, karena memiliki
lebih banyak kesempatan mendapat infeksi (exposure). Hospes reservoar adalah
hewan yang dapat menjadi hospes bagi cacing filaria, misalnya Brugia malayi
yang dapat hidup pada kucing, kera, kuda, dan sapi.
Banyak spesies nyamuk yang ditemukan sebagai vektor filariasis, tergantung pada jenis cacing filarianya dan habitat nyamuk itu sendiri.
Banyak spesies nyamuk yang ditemukan sebagai vektor filariasis, tergantung pada jenis cacing filarianya dan habitat nyamuk itu sendiri.
Gejala klinis filariais antara lain adalah berupa :
- Demam
berulang-ulang selama 3 – 5 hari, demam dapat hilang bila beristirahat dan
muncul kembali setelah bekerja berat.
- Pembengkakan
kelenjar limfe (tanpa ada luka) di daerah lipatan paha, ketiak
(lymphadenitis) yang tampak kemerahan. Diikuti dengan radang saluran
kelenjar limfe yang terasa panas dan sakit yang menjalar dari pangkal kaki
atau pangkal lengan ke arah ujung (Retrograde lymphangitis) yang dapat
pecah dan mengeluarkan nanah serta darah.
- Pembesaran
tungkai, buah dada, dan buah zakar yang terlihat agak kemerahan dan terasa
panas (Early lymphodema). Gejala klinis yang kronis berupa pembesaran yang
menetap pada tungkai, lengan, buah dada, dan buah zakar tersebut.
Seseorang
yang menderita filariasis dapat didiagnosis secara klinis dengan cara sebagai
berikut.
- Deteksi
parasit yaitu menemukan mikrofilaria di dalam darah pada pemeriksaan
sediaan darah tebal. Pengambilan darah dilakukan pada malam hari karena
mikrofilaria aktif pada malam hari dan banyak beredar dalam sistem pembuluh
darah. Setelah membuat sedian darah maka dilakukan pemeriksaan sedian
tersebut. Jika pada sediaan ditemukan mikrofilaria, maka orang tersebut
telah terinfeksi cacing filaria.
- Pemeriksaan
dengan ultrasonografi (USG) pada skrotum.
2.
Mekanisme terjadinya Filariasis.
Seseorang dapat tertular atau
terinfeksi filariasis apabila orang tersebut digigit nyamuk yang infektif ,
yaitu nyamuk yang mengandung larva stadium III (L3). Nyamuk tersebut
mendapatkan mikrofilaria sewaktu menghisap darah penderita atau binatang
reservoar yang mengandung mikrofilaria. Siklus penularan filariasis ini melalui
dua tahap , yaitu mosquito satges atau tahap perkembangan dalam tubuh nyamuk
(vektor) dan human stages atau tahap perkembangan dalam tubuh manusia (hospes)
atau binatang (hospes reservoar).
Di dalam tubuh nyamuk, mikrofilaria
berselubung (yang didapatkannya ketika menggigit penderita filariasis), akan
melepaskan selubung tubuhnya yang kemudian bergerak menembus perut tengah lalu
berpindah tempat menuju otot dada nyamuk. Larva ini disebut larva stadium I
(L1). L1 kemudian berkembang hingga menjadi L3 yang membutuhkan waktu 12 – 14
hari. L3 kemudian bergerak menuju probisis nyamuk. Ketika nyamuk yang
mengandung L3 tersebut menggigit manusia, maka terjadi infeksi mikrofilaria
dalam tubuh orang tersebut. Setelah tertular L3, pada tahap selanjutnya di
dalam tubuh manusia, L3 memasuki pembuluh limfe dimana L3 akan tumbuh menjadi
cacing dewasa, dan berkembangbiak menghasilkan mikrofilaria baru sehingga
bertambah banyak. Kumpulan cacing filaria dewasa ini menjadi penyebab
penyumbatan pembuluh limfe. Aliran sekresi kelenjar limfe menjadi terhambat dan
menumpuk di suatu lokasi. Akibatnya terjadi pembengkakan kelenjar limfe
terutama pada daerah kaki, lengan maupun alat kelamin yang biasanya disertai
infeksi sekunder dengan fungi dan bakteri karena kurang terawatnya bagian
lipatan-lipatan kulit yang mengalami pembengkakan tersebut.
3.
Upaya pencegahan, pengobatan dan rehablias Filariasis.
a.
Upaya pencegahan Filariasis
Pencegahan filariasis dapat
dilakukan dengan menghindari gigitan nyamuk (mengurangi kontak dengan vektor)
misalnya menggunakan kelambu sewaktu tidur, menutup ventilasi dengan kasa
nyamuk, menggunakan obat nyamuk, mengoleskan kulit dengan obat anti nyamuk,
menggunakan pakaian panjang yang menutupi kulit, tidak memakai pakaian berwarna
gelap karena dapat menarik nyamuk, dan memberikan obat anti-filariasis (DEC dan
Albendazol) secara berkala pada kelompok beresiko tinggi terutama di daerah
endemis. Dari semua cara diatas, pencegahan yang paling efektif tentu saja
dengan memberantas nyamuk itu sendiri dengan cara 3M.
b.
Upaya pengobatan Flariasis
Pengobatan
filariasis harus dilakukan secara masal dan pada daerah endemis dengan
menggunakan obat Diethyl Carbamazine Citrate (DEC). DEC dapat membunuh
mikrofilaria dan cacing dewasa pada pengobatan jangka panjang. Hingga saat ini,
DEC adalah satu-satunya obat yang efektif, aman, dan relatif murah. Untuk
filariasis akibat Wuchereria bankrofti, dosis yang dianjurkan 6 mg/kg berat
badan/hari selama 12 hari. Sedangkan untuk filariasis akibat Brugia malayi dan
Brugia timori, dosis yang dianjurkan 5 mg/kg berat badan/hari selama 10 hari.
Efek samping dari DEC ini adalah demam, menggigil, sakit kepala, mual hingga
muntah. Pada pengobatan filariasis yang disebabkan oleh Brugia malayi dan
Brugia timori, efek samping yang ditimbulkan lebih berat. Sehingga, untuk pengobatannya
dianjurkan dalam dosis rendah, tetapi pengobatan dilakukan dalam waktu yang
lebih lama. Pengobatan kombinasi dapat juga dilakukan dengan dosis tunggal DEC
dan Albendazol 400mg, diberikan setiap tahun selama 5 tahun. Pengobatan
kombinasi meningkatkan efek filarisida DEC.
Obat lain
yang juga dipakai adalah ivermektin. Ivermektin adalah antibiotik semisintetik
dari golongan makrolid yang mempunyai aktivitas luas terhadap nematoda dan
ektoparasit. Obat ini hanya membunuh mikrofilaria. Efek samping yang
ditimbulkan lebih ringan dibanding DEC. Terapi suportif berupa pemijatan juga
dapat dilakukan di samping pemberian DEC dan antibiotika, khususnya pada kasus
yang kronis. Pada kasus-kasus tertentu dapat Juga dilakukan pembedahan.
c.
Upaya rehabilitas Filariasis
Penderita filariasis yang telah
menjalani pengobatan dapat sembuh total. Namun, kondisi mereka tidak bisa pulih
seperti sebelumnya. Artinya, beberapa bagian tubuh yang membesar tidak bisa
kembali normal seperti sedia kala. Rehabilitasi tubuh yang membesar tersebut
dapat dilakukan dengan jalan operasi.
DAFTAR PUSTAKA
Kurniawan,
Anas 2014. (AnnasBlog) Makalah Filariasis (Peyakit Kaki Gajah).htm
diakses dari situs http://www.kumpulan_makalah_kesehatan.co.id pada 10 juni 2014
Dadang. 2006.
Subang Daerah Endemis Filariasis. Diakses dari situs http://www.subang.co.id. pada tanggal 10 juni 2014.
No comments:
Post a Comment